Saturday, September 16, 2017

Mengenal sosok Pak Sakera Metatu

Bapak Miskan, 66 Tahun,  pelaku seni dendang bhirawa,  yang biasa dipanggil Pak Sakera 




Setelah mengenalkan Dendang Bhirawa, dan beberapa tokoh yang giat dalam berkesenian dan mentas bersama Dendang Bhirawa. Pada kesempatan kali ini bertemu dengan Pak Sakeranya Dendang Bhirawa.

Di era tahun 1960an didesa Metatu Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik, ada drama dan lawak yang terkenal dari desa Metatu, drama dan lawak dan orkes melayu tergabung dalam Fatahillah pimpinan H saifuddin. Kemudian dalam perkembangannya menjadi dendang bhirawa,  dan salah satu pemainnya yakni bapak Miskan

Menurut Miskan 67 tahun, yang lebih akrab dipanggil pak sakera saat mentas. ia mentas dalam dendang bhirawa berperan sebagai Tokoh dengan logat Madura.  Berbekal pengalamannya yang Merantau ke bondowoso,  Jakarta dan berkomunikasi dengan orang orang Madura, membuatnya fasih berbahasa Madura. Sehingga ia selalu mendapat peran dan berlogat orang Madura. " ngomonge boso meduro sak pakaiane, sak brengose." terangnya

Ia menuturkan Banyak sekali pelaku seni yang terlibat di pementasan dijaman itu, urusan transportasi awalnya berjalan kaki dan membawa semua alat, lambat laun meminjam sepeda onthel, karena sepeda ontel tidak mencukupi maka menyewa mobil, dari pickup sampai truk.  "biyen mlaku nek desoe cidhek, trus nyewo sepeda ongkel, suwe suwe nyewu montor truk mergo gak cukup muatane." lanjutnya dalam logat Metatu

Ia melanjutkan,setiap lakon yang ia mainkan selalu dibumbui bahasa Madura dan yang sering dimainkan adalah Sakera. Pernah satu ketika ia tetidur dibelakang panggung dan dibiarkan teman temannya dan terbangun saat pentas selesai. "satelah manggung babak awal, saya tertidur dan tau tau penonton tidak ada karena sudah selesai," kenangnya

Dulu ia selalu membawa Clurit dalam lakon dramanya, clurit nya terbuat dari kayu yang dicat dan ditengah tengah dikasih rongga untuk menaruh pewarna cair yang berwarna Merah, sehingga waktu digunakan dalam berduel diperan, maka ada efek darah. "penonton dikalah itu kaget dan dipikir darah, padahal pewarna."Imbuhnya

Ia membenarkan bahwa manggung djaman itu masih mengunakan penerangan lampu petromak, dan untuk memainkan warna cahaya dengan menyelipkan kertas warna tergantung warna yang diinginkan. "biasae yang dekor iku pak muridjan," pungkasnya dalam logat Metatu  (Rantas/wawan)

Tuesday, September 12, 2017

Satu jam sinau bersama cak Rateman


Bapak Rateman, 67 Tahun,  Pegiat Drama Dendang Bhirawa Desa Metatu


Dendang Bhirawa, tentunya masih asing bagi generasi muda sekarang.  Diera jayanya Dendang bhirawa cukup terkenal dan malang melintang didunia pertunjukan seni.
Berawal  era tahun 1960an didesa Metatu Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik, ada drama dan lawak yang terkenal dari desa Metatu, drama dan lawak dan orkes melayu tergabung dalam Fatahillah pimpinan H saifuddin. Kemudian dalam perkembangannya menjadi dendang bhirawa

Menurut Bapak Rateman, 67 tahun,  dendang bhirawa dulu mewarnai pentas Drama diwilayah Benjeng, Gresik, surabaya bahkan pernah seminggu bermain di daerah paciran lamongan.  Karena medan yang dilalui tidak ada jalan darat maka terpaksa harus naik perahu.

Dendang bhirawa menurut bapak rateman, yang lebih akrab dipanggil cak rateman.  Dendang artinya irama atau musik dan bhirawa mengambil dari nama senjata yakni cakrabhirawa dijaman majapahit.

Banyak sekali pelaku seni yang terlibat di pementasan dijaman itu
Diantaranya Bapak Gunawan, ​ Dahar pemain akordion, pemaingitar bas H Hasyim, kendang bapak maridjan, pemain gitar dahar, kencrek mukmin. sedangkan penyanyi Haji Daeri, shalikin, mud abidin, supilin , Haji Mudzakir, dan bapak Juwari.

Sering sekali mendatangkan bintang tamu dari surabaya.  Diantaranya endang prisnawati dan Nuridah dan sebagai MC abdul jamik dan H.  Mudzakir serta masih banyak lagi pelaku seni yang terlibat. "banyak sekali pelaku yang terlibat, kadang kalah ada regenerasi atau mengajak anak muda untuk tampil." terangnya sambil menikmati segelas kopi


Ngobrol asik.. Bersama cak edi ambon dan bapak Rateman
Ia melanjutkan,  banyak sekali yang pemain Drama dimasa itu diantaranya Sarji (aziz), cak kamit, cak darman, karil (muridjan), supilin, cak mat sholeh, Miskan dan lain lain

Dulu bahkan pernah satu bulan penuh mentas, meskipun siang tetap harus bekerja, tetapi tim tetap semangat dan kompak untuk mentas.  Bahkan dulu seingatnya pernah mentaa dengan mengkarciskan didaerah Paciran, Dermo dan beberapa wilayah. Dan antusias penonton sangat baik terbukti dengan banyaknya penonton.

Terkait dekorasi, dulu mengunakan dekorasi alami yakni dengan kain yang dilukis, dan biasanya bapak Muridjan melukis dan membuat dekorasi agar menarik, pernah suatu ketika dengan lakon putri duyung. Maka harus membuat efek laut dan air. Dimasa itu mengunakan terpal warna biru dan diisi air. Dengan ujung terpal diangkat beberapa orang. "dulu yang bagian menganti layar lukisan itu bapak Nari dan bapak Raten." terangnya

Terkait dengan kostum, dulu sebelum punya kostum diawalnya meminjam pakaina tetangga yang sesuai dengan peran yang dilakonkan.  Sedangkan transportasinya dulu naik pickup rame rame.  "biyen numpak colbak harpa, longgo lesehan kadang sampek gak cukup. Terangnya dengan logat Metatu

Ia menceritakan bahwa manggung djaman itu masih mengunakan penerangan lampu petromak, atau lampu gaspon dalam bahasa Metatu dan dulu sebelum mentas selalu minta restu dan doa dari sesepuh dan tetangga. Agar pentas berjalan dengan lancar.



Demikian sekilas cerita dari cak rateman, dan tentunya banyak kekurangan dalam penulisan, baik terkait nama pelaku dan yang lain. Mudah mudahan ada yang menyempurnakan lagi terkait masa masa kejayaan pentas seni didesa Metatu Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. (Rantas)

Sunday, September 10, 2017

Mengenal sosok pak Raja



Bapak Supilin Effendi yang lebih dikenal dengan nama panggung pak raja


Mungkin digenerasi sekarang jarang yang tahu panggilan nama raja.  Panggilan nama raja dikenal masyarakat luas baik di desa maupun luar desa metatu di era tahun 1960an sampai tahun 1980an. Karena Pada era tahun 1960an, ada drama dan lawak yang terkenal dari desa Metatu, drama dan lawak dan orkes melayu tergabung dalam Fatahillah pimpinan H saifuddin. Kemudian dalam perkembangannya berybah nama menjadi dendang bhirawa.

Banyak pelaku seni yang mewarnai dan terkenal dimasa itu. Salah satunya nama panggung yang menarik adalah Raja atau pak raja.dengan nama asli supilin efendi, 67 Tahun.atau lebih dikenal dengan nama pak raja

Ia menceritakan pada masa itu.  Ia dinamai raja karena dilatar belakangi perannya dalam drama yang selalu mendapat peran sebagai orang kaya atau anak orang kaya.  "pokoke peran seng enak enak, salah sijine dadi anake lurah, kadang sampek saiki onok seng nyeluk pak raja." terangnya dengan logat metatu

Menurutnya dulu para pemain tidak berpikir honor, tapi bagaimana bisa tampil dan memuaskan penonton.  Sering kali di agustusan diundang untuk mengisi dilapangan kecamatan benjeng.

Ia menjelaskan bahwa dendang bhirawa sangat terkenal mentas diwilayah lamongan, Gresik dan beberapa wilayah surabaya. Ia mengaku aktif berkesenian sejak tahun 1962 sampai tahun 1982. Ia masih mengingat beberapa drama yang dimainkan, diantaranya joko sambang, sarip tambak oso, raja dari baghdat dan banyak karya drama yang dihasilkan.

Ia bersama rekan sejawatnya pada masa itu, yakni H Mudzakir, H Dairi, Gunawan, Cak Rateman, Muridjan, kamit dan lain lain.  Selalu bersemangat ketika ada undangan dan tampil mentas. Berdiskusi terkait tema dan permintaan judul yang mengundang. "dulu kita bersemangat, meskipun alat tidak selengkap sekarang, penting bisa menghibur dan menyenangkan banyak orang." pungkasnya

Ia berharap dengan banyaknya potensi anak muda saat ini. Mudah mudahan kedepan semakin maju dan berkembang. "semoga generasi kedepan lebih maju dan dan berkembang" pungkas tokoh masyarakat desa metatu ini. (Rantas)

Meriahnya acara Puncak HUT RI Ke 72 Desa Metatu Kecamatan Benjeng








Desa Metatu Kecamatan Benjeng terdiri dari 3 dusun,  yakni dusun Metatu.   Dusun Medangan dan  dusun Purworejo.  Banyak kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka memeriahkan HUT RI ke 72 di Desa Metatu Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Baik ditingkatan RT, Dusun dan Desa.
Berbagai macam lomba, baik anak, anak, olahraga, panjat pinang, lomba masakan dan lain lain.

Dan minggu (10/09/2017) pagi ini merupakan acara puncak peringatan HUT RI Ke 72 di desa Metatu.  diawali dengan jalan sehat, ada 3 titik pemberangkatan yakni didusun Medangan, Dusun Purworejo dan Dusun Metatu dilapangan Desa Metatu. Khusus Start langan desa Metatu rute mereka memutari Dusun dan finish dilapangan Metatu.
Banyak peserta yang ikut dalam kegiatan ini, tampak peserta merayap dari 3 titik dan finish dilapangan Desa Metatu. Setibanya difiniah peserta langsung disambut atraksi seni Jaranan satrio Kencono
Ratusan pasang mata menikmati dan kadang terbawa suasana atraksi.  "atraksi ini sangat bagus dan menghibur." terang winarno salah satu penonton
Kemudian acara dilanjutkan hiburan orkes Melayu (OM)  elnada yang diselingi sambutan ketua karang taruna Desa Metatu,  Rizal Kurniawan,dan Kepala Desa Metatu
Dalam sambutannya ia mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak,  karang taruna desa Metatu, pemuda pemudi desa Metatu dan seluruh warga Desa Metatu dan semua yang membantu dalam semua rangkaian kegiatan "sukses buat semuanya yang telah berpartisipasi, semoga Tahun depan lebih gebyar dan sukses" terang Nurul Askin selaku Kepala Desa Metatu
Kemudian acara dilanjutkan kembali dengan penampilan artis artis OM Elnada dan beberapa warga yang tampil, sambil diselinggi pembagian hadiah Lomba dan Dorprise. (rantas)ra 




Wednesday, September 6, 2017

Memahami cerita sejarah Desa Metatu


Cover buku babat alas benjeng (Desain andik kohok)






























Menurut cerita yang dituturkan turun temurun dari orang tua, asal muasal nama Desa Metatu bermula dari telaga desa metatu. Telaga ini pernah menjadi tempat peristirahatan pasukan Giri. Kala itu pasukan kerajaan Giri mengadakan perjalanan ke Majapahit. Ketika sampai di desa ini, hari sudah menjelang petang. Pasukan menginap beristirahat, esok pagi perjalanan dilanjutkan kembali.

Setelah melakukan perjalanan yang menguras tenaga, pasukan melakukan persinggahan untuk mengembalikan stamina. Mereka beristirahat, sambil meregangkan kaki, dan  merebahkan tubuh untuk menghilangkan penat setelah berjalan seharian. Prajurit kerajaan yang umumnya berbadan kekar tersebut, juga membuka perbekalan makanan untuk mengembalikan tenaganya. Mereka telah menyiapkan logistik makanan dengan baik, agar kondisi tubuh tetap prima dan tenaganya kuat.

Selain makanan, tidak kalah penting adalah air minum. Makanan mungkin menjadi urusan kedua, yang penting air minum harus tersedia, menghilangkan dahaga. Dengan kesediaan air yang melimpah, kebutuhan mandi untuk membersihkan dan menyegarkan tubuh, juga diperlukan. Apalagi kerjaan Giri yang sudah menganut ajaran Islam, air menjadi sarana penyucian diri melalui wudlu, untuk melaksanakan kewajiban solat.

Telaga Desa Metatu menjadi tempat ideal, dengan segala kebutuhan yang diperlukan sebuah pasukan. Letaknya strategis di dekat jalan utama, jalur para pelancong atau pengembara melakukan perjalanan. Posisi telaga tidak jauh dari jalan utama, namun tersembunyi terlindung dari pohon-pohon besar. Sehingga apabila ada rombongan pasukan lain yang lewat, akan dengan mudah diketahui, tanpa kita keluar dari tempat istirahat.

Telaga terletak diluar pemukiman, menjadi tempat aman dari gangguan orang luar, untuk mengatur strategi perjalanan esok hari. Permukiman pertama desa ini kampung lama yang pertama kali dihuni penduduk, terletak di utara gapura sebelah barat, yang sekarang dihuni RT.01 RW.01 Desa Metatu.

Pagi hari menjelang, setelah semalam beristirahat dengn tenang, perjalanan dilanjutkan kembali. Pasukan mengemas semua perbekalan, menyiapkan prajurit, setelah lengkap  rombongan berangkat menuju Majapahit.

Setelah beberapa waktu perjalanan, Sang Patih, pemimpin pasukan menyadari bahwa mahkotanya tertinggal di tempat istirahat semalam, di sekitar telaga. Dia memerintahkan punakawan, pembantu Sang Patih, Ki Ageng Arem-Arem, untuk kembali ke telaga Desa Metatu. Sedangkan pasukan Giri tetap melanjutkan perjalanan.

Menurut legenda yang ada, Ki Ageng Arem-Arem, kembali ke telaga dan mencari mahkota. Dia mencari di setiap sudut di sekitar telaga. Di bawah pohon, di balik rumput dan semak-semak, atau di ranting pohon yang menjuntai ke tanah, barangkali diletakkan Sang Patih di sana.
Ki Ageng Arem-Arem, juga mencari di pohon-pohon besar, di sekitar telaga. Salah satu pohon besar, warga menyebutnya pohon “mbet”, sejenis pohon otok. Selain itu terdapat pohon besar lainnya yaitu randu alas. Pohon-pohon tersebut pada zaman kolobendu, yang masih banyak hutan belantara, tumbuh besar. Diameter batangnya melebihi 5 orang dewasa yang bergandengan tangan melingkar.

Setelah di sekeliling telaga tidak ditemukan mahkota yang dicari, dia berpikir mungkin jatuh kebawah dan berada di dasar telaga. Akhirnya dia memutuskan mencari ke dalam air. Dia menyusuri telaga dari tepi, berkeliling memutar tepian telaga. Meraba-raba dengan tangan dan kakinya, berharap menyentuh sesuatu, namun yang ditemukan hanya lumpur.

Akhirnya dia memutuskan untuk mencari lebih ke tengah, yang lebih dalam, dengan menyelam. Setelah beberapa saat menyelam, menurut legenda, Ki Ageng Arem-Arem tidak pernuh muncul dari dalam air. Beliau tenggelam, bersama mahkota sang Patih, yang diyakini masyarkat sekitar juga ikut tenggelam di dasar telaga Metatu.

Selain nama pohon, mbet dalam bahasa Jawa berarti ambles atau menancap. Konon, Ki Ageng Arem-Arem, tubuhnya ambles di tanah telaga yang berlumpur. Atas peristiwa itu, desa ini dikenal dengan sebutan Mbetatu. Setelah itu lambat laun berubah menjadi Metatu.

Menurut penuturan Bapak H. Mat Darum, ketika zaman Gestapu, pemerintah kecamatan mengubah namanya menjadi Desa Melati. Namun setelah era gestapu, dikembalikan menjadi Metatu hingga sampai sekarang.

MBAH DERMO
Pada masa dulu, zaman kolobendu, hutan belantara, dihuni binatang dan makhluk aneh, yang mungkin dari golongan jin. Dahulu terkenal “jalmo moro jalmo mati”. Artinya orang yang datang ke suatu tempat, tidak akan kembali lagi, hilang ditelan bumi, kemungkinan sudah mati. Namun matinya tanpa jasad, misterius. Makanya orang yang pergi ke luar desa, melewati hutan belantara, adalah orang yang mempunyai ilmu kanuragan dan kemampuan supranatural yang mumpuni.
Wak Dermo berasal dari perkampungan Purworejo, yang sekarang berada di sebelah utara Desa Metatu. Kampung ini lebih dahulu ada, kampung lama. Wak Dermo adalah tokoh babat alas desa Metatu, membuka area untuk permukiman. Beliau membabat pohon, membersihkan rumput dan semak, untuk digunakan tempat tinggal baru.
Wak Dermo bersama keluarga mendirikan rumah dan membangun rumah tangga. Sementara warga yang di Purworejo, tetap tinggal di sana melanjutkan hidup sehari-hari seperti biasa. Wak Dermo boyongan ke tempat ini, dimungkinkan di sini sumber makanan lebih banyak, atau di tempat asal sudah mulai berkurang sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Mengingat zaman dahulu, manusia sifat hidupnya nomaden, selalu berpindah-pindah, mendekati tempat yang lebih banyak sumber makanan.

KEBAKARAN HUTAN DI MUSIM KEMARAU
Kemarau panjang telah tiba, air mengering, pohon dan ranting menggugurkan daun-daun. Hutan yang dulu hijau dan segar, sekarang kering kerontang, sejauh mata memandang berwarna coklat muda, daun kering berserakan di mana-mana.
Burung dan binatang darat pergi menjauh, mencari makanan dan sumber air bersih. Namun warga yang sudah mempunyai rumah, dan penghidupan di desa, tentu saja tidak bisa pindah seperti kawanan burung dan hewan lainnya. Mereka menetap, menunggu musim hujan tiba, walau paceklik melanda.
Musim kemarau, pohon dan ranting, daun, rumput, semuanya kering kerontang. Kebakaran hebat di seluruh desa, api membesar menyambar apa saja yang ada didekatnya. Asapnya tebal menyesakkan dada, membuat miris penduduk desa. Namun dengan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, yang waktu itu warga meyakini danyang atau leluhur dan penguasa desa masih melindungi desa ini. Walaupun semua desa terbakar, namun ada satu gang yang tidak terbakar.
Warga banyak berlindung di kampung ini, karena rumah dan tempat tinggal mereka ludes terbakar. Harta benda hilang, hewan ternak lari tunggang langgang, dan kini mereka memulai hidup baru, dengan semangat baru yang lebih tegar dalam mengarungi hidup.


KEPALA DESA
Desa Metatu terletak di bagian utara wilayah Kecamatan Benjeng. Terdiri dari 3 wilayah, yaitu Dusun Metatu sebagai pusat pemerintahan desa, Dusun Medangan sebelah selatan dan Dusun Purworejo sebelah utara.
Kepala Desa yang telah memimpin yang diketahui yaitu
1.        Kiyai Las
2.        Kiyani
3.        Ri’ah
4.        Kromo Setro Teko
5.        Wongso Karso Randim
6.        Rahmat / H. Sulaiman
7.        Mad Darum / H. Mad Darum Afandi (1960 – 1990)
8.        Agus Salim (1991 – 2007)
9.        Nurhudi DA (2007 – 2013)
10.  Nurul Askin (2013- sampai sekarang)


Menurut penuturan H. Mad Darum, awalnya Medangan adalah desa dengan pemerintahan sendiri. Saat itu lurahnya yang bernama Gunawan,. Beliau  ke Surabaya. Dengan kekosongan kepemimpinan, maka Medangan dijadikan satu dengan pemerintahan Desa Metatu, hingga sekarang.

(sumber : buku babat alas benjeng)
di poskan : hadi setiawan

Sebait cerita tentang Dusun Purworejo Desa Metatu


Dusun Purworejo, dalam arti bahasa, Purwo berarti awal, rejo berarti ramai. Purworejo, bisa diartikan daerah yang baru ada namun sudah ramai. Menurut cerita Dusn Purworejo wilayah yang lebih dulu sudah ada, dibandingkan Dusun Metatu.

Dusun Purworejo, salah satu pedukuhan dari Krajan Desa Metatu. Krajan pusat pemerintahan desa. Pemerintahan pedukuhan dipimpin seorang Bau. Berdasarkan penuturan warga, Bau atau Kepala Dusun yang diketahui telah memimpin Purworejo adalah sebagai berikut: Yai Ti, Yai Jais, Kandek, Santri, Gunawan, Ripan, Paing, Ali dan Abdul Rojak.

Dari beberapa Kepala Dusun di atas, yang paling banyak kisahnya adalah Bau Santri. Pemerintahannya pada masa kemerdekaan hingga Gestapu. Beliau dikenal mempunyai kesaktian yang sangat mumpuni. Pada masa kepemimpinan beliau, makhluk-makhluk halus yang menghuni tempat-tempat yang angker di Purworejo dibersihkan. Sebagaimana dituturkan Bapak Miskam, yang sewaktu kecil pernah mengikuti langkah Bau Santri mengusir roh jahat di salah satu gerumbul desa.
Bau Santri, terkenal dengan ilmunya yang sakti. Tubuh beliau tidak mempan dipotong dengan berang (golok) yang sudah diasah 7 hari. Karena Bau Santri murid dari Kiyai Syafi’i dari Suci Gresik, tokoh yang sangat disegani. Bau Santri terkenal sangat peduli dan aktif dalam menjaga desa. Meskipun seorang pemimpin, beliau bersedia melakukan pekerjaan yang berat demi kebaikan warganya.

Pada zaman kemerdekaan, beliau pernah diburu Belanda karena perjuangannya membela rakyat kecil. Sempat menjadi buron, dan didatangi tentara untuk ditangkap. Namun meskipun tentara sudah berhadapan langsung dengan Bau Santri, tapi karena ilmu saktinya, beliau seperti menghilang di mata tentara tersebut, padahal beliau tetap berdiri di situ dan tidak kemana-mana. Akhirnya tentara kembali dengan tangan kosong.

Di sebelah selatan Dusun Purworejo terdapat telaga. Menurut cerita telaga ini, dibangun dari dana banyak orang yang pernah lewat di sini. Mereka yang melewati dusun ini, diminta untuk membantu, atau mungkin dikenakan kewajiban, ikut menggali telaga. Makanya telaganya disebut Telogo Dendo.

Mungkin ini sebait cerita tentang dusun purworejo, bukan terkait pemahaman yang lain, akan tetapi mungkin ini sedikit cerita yang bisa digali dan dikembangkan dengan mencari narasumber. untuk itu saran dan kritik terhadap kesalahan penulisan dan butuh pelurusan sejarah sangatlah penting. semoga generasi muda bisa aktif mengali kembali dan  tak lupa memahami sejarah dan perjuangan para sesepuh desa

(sumber : buku babat alas Benjeng)
diposkan : Hadi Setiawan


Tuesday, September 5, 2017

Firdaus Shooting video, Solusi mitra anda

Firdaus shooting, solusi mitra anda

Firdaus shooting adalah usaha yang bergerak dibidang shooting video dan fotografi.  Usaha yang berlokasi jalan raya metatu barat balai desa Metatu kecamatan Benjeng kabupaten Gresik.
Usaha yang dimiliki yanuar firdauas 34 tahun baru berdiri setahun ini.  Biasanya mendapatkan order dari blog atau internet.  "sebenarnya usaha ini sudah berlangsung lama tapi baru pindah setahun didesa metatu" terang pemuda desa metatu ini.
Biasanya melayani daerah Gresik, lamongan dan surabaya, baik hajatan, sedekah bumi, ulang tahun,  tour wali songo maupun even yang lainnya
Nah bagi dulur dulur yang tidak ingin kehilangan momen dan dokumentasi kegiatan. Alternatif firdaus shooting video bisa menjadi mitra anda dalam mendokumentasikan kegiatan dan momen keluarga. Soal harga bisa dikomunikasikan lebih lanjut dan bisa mengunjungi firdaus-production.blogspot.com (Hadi Setiawan)

Alamat : jalan raya metatu barat balai desa Metatu Kec. Benjeng
FIRDAUS MOTION
085646721124
firdaus-production.blogspot.com
https://goo.gl/maps/pqv64VJdyeo


Monday, September 4, 2017

Menikmati malam diperempatan Metatu

Menikmati malam diperempatan Metatu

Bila anda yang bepergian dan melintas perempatan metatu, dan ingin sejenak ingin melepas lelah dan menikmati secangkir kopi. Jangan kuatir masih ada warung kopi yang buka, lokasinya mulai dari depan puskesmas, depan pasar metatu dan sekitaran perempatan metatu baik arah cerme, benjeng dan duduksampeyan. banyak warung kopi yang masih buka. Sehingga penguna jalan masih bisa rehat sejenak meski sekedar menikmati secangkir kopi, teh hangat dan wifi gratis
Dan bila ingin mencari kuliner tak perlu kuatir. Masih ada warung pkl dan warung sederhana yang menyediakan berbagai kuliner yang pas dikantong anda, mulai dari nasi goreng, lalapan, tempe penyet dan mie pangsit serta bakso.lokasi Mulai dari waduk metatu, depan pasar metatu sampai sskitaran perempatan metatu.
Seperti malam ini, meski menjelang dini hari. Masih ada warung kopi yang buka dan yang pasti kuliner tahu tek cak waras setia menanti pelanggang disebelah utara perempatan metatu.


Jadi jangan kuatir kalau rehat sejenak dijalan raya metatu, apalagi kalau masih pagi atau petang dan menjelang malam lumayan banyak kuliner yang ditawarkan dan secangkir kopi siap menyambut anda. Jadi jangan lupa mampir dan menikmati kulinernya . hadi setiawan

Memahami secuil Sejarah dan Kearifan Lokal Dusun Medangan Desa Metatu Kecamatan benjeng





























Memahami Sejarah, sama seperti kita memahami diri dan keluarga kita. karena dengan memahami sejarah perjalanan terbentuknya sebuah daerah sama saja kita memahami asal usul dan perjuangan sesepuh desa. untuk itu kami mencoba mengulas dan menghadirkan secuil cerita lisan yang dikemukakan oleh narasumber.
siang itu saya bertemu dengan H Nasrib/Tasrip atau yang lebih dikenal dengan Abah bau. abah Bau merupakan Kepala Dusun yang sudah mengabdi sejak tahun 1972, beliau masih hafal kapan ia dilantik tepatnya 24 Oktober 1972 dan pensiun pada tanggal 09 Juli 2013. 
Beliau Bercerita banyak terkait Sejarah, Kerafifan Lokal Dusun Medangan, dan proses perjalanan beliau mengabdi di Dusun Medangan.  ia masih ingat bersama abah daru , Kepala Desa saat itu babat alas dalam rangka pengembangan pemukiman dusun medangan, dan ditahun 1978 perkembangan Penduduk Desa Medangan berkembang semakin Pesat.
ia masih ingat beberapa perangkat Desa di tahun 1972, diantaranya Lurah H. Mat Darum atau yang lebih dikenal abah darum, Carik Gunari, wak mudin munaji, Mudin sarpan, bayan sagi, bayan ridwan,kamituwo iran,  dan banyak lagi yang dia ingat siapa saja rekan sejawatnya dalam dia mengabdi didesa seperti bau Gunawan, bau santu, bau aripin, bau pahing, bau ratimin, bau damin, bau hari dan bau jais. nama nama itu adalah rekan sejawatnya di perangkat desa Metatu. dan sebelum ia menjadi kasun dimedangan sebelumnya ada bau yasmo dan bau sagi. 
kemudian ia menceritan sejarah dusun medangan. Dusun Medangan Desa Metatu, , awalnya terletak di sebelah utara Jembatan Medangan. ia mengkisahkan, dijaman itu ada orang yang sedang melakukan perjalanan, kemudian berhenti sebentar untuk istirahat. Tidak jauh dari tempat beristirahat, ada petani yang sedang membajak sawah. Ia mencoba bertanya pada petani tersebut.
Petani itu menghampiri orang yang sedang beristirahat itu, orang itu bertanya nama desa ini pada petani, dijawab dengan nama desa ini desa ‘matamu’. 
Karena merasa dijawab dengan demgam kasar, orang terbebut tidak terima dan mengajak berduel. sehingga petani itupun menerima tantangan tersebut.
Setelah duel berakhir, dan takut akan terjadi kejadian yang sama. untuk menghindari kesalahpahaman dalam penyebutan nama desa, dan atas kejadian pertempuran itu, warga desa bersepakat untuk mengubah nama desa menjadi nama “SINGOPADU”, artinya singa yang sedang berkelahi. Dalam perjalanan pemerintahan dan kehidupan warga, suasana desa tidak tenang. Sering terjadi kegaduhan, pertengkaran, percekcokan, sehingga kondisi masyarakat tidak kondusif.
Akhirnya masyarakat bersepakat untuk mengubah lagi nama desa, dan ditemukan nama yang baik yaitu “MEDANGAN”. Berasal dari kata pedang, kata medangan diartikan landep atau tajam. Medangan artinya tajam pemikirannya, yang diharapkan warga desa ini dalam bertindak, segala sesuatu dipikirkan dengan matang, sehingga hasilnya lancar dan sesuai yang diharapkan.

KAMPUNG LAMA POMAHAN
Kampung lama Dusun Medangan, di sebelah utara jembatan Medangan, yang sekarang sudah menjadi sawah. Di tempat ini sekarang sering ditemukan bekas-bekas abu dan arang pembakaran. Pada beberapa tempat sering ditemukan tumpukan batu bata merah.
Jika tanami padi di area tersebut, tidak bisa subur seperti di sebelahnya. Akhirnya diyakini warga bahwa dibawahnya terdapat batu bata. Menurut warga, tanah tersebut cenderung panas, sehingga tanaman yang tumbuh di atasnya tidak bisa berkembang baik.
Dahulu tanah di wilayah ini sangat subur, dan dimanfaatkan petani sebagai pupuk. Warga disini menyebutnya “mbothok”. Mereka mengambil secukupnya kemudian disawur ditebarkan merata, seperti menebar pupuk. Dan anehnya, setelah diberi bothok tanah bekas pemukiman lama, tanaman menjadi subur. Namun sekarang pupuk sudah diganti lebih modern.

VERSI LAIN ASAL USUL MEDANGAN
Menurut penuturan narasumber lain, asal usul Desa Medangan dimulai dari perjalanan rombongan Sunan Giri menuju Majapahit. Sampai di wilayah ini, mereka bertemu dengan prajurit Majapahit. Akhirnya terjadi peperangan yang sengit, waktu itu senjata yang banyak dipakai adalah pedang. Bunyi benturan antar pedang terdengar hingga kejauhan. Akhirnya wilayah terkenal dengan Medangan, atau “adu pedang“, yang artinya di tempat ini dulu terdapat perang dengan bersenjatakan pedang.
Dari sumber lain, asal-usul Desa Medangan berasal dari saudagar kaya Sumedang Jawa Barat yang berkunjung ke wilayah ini. Mereka memberikan nama Medangan ke daerah ini.
Nama kepala dusun, zaman dahulu disebut Bau, yang pernah memimpin desa ini, yang bisa diketahui antara lain : Rais / Pak Cukul, Yasmo (1965 – 1972), Nasrip (

1972 – 2013).
Menurut keyakinan warga turun-temurun, Kepala Dusun yang memimpin desa ini, hendaknya dari warga asli desa, bukan pendatang. Karena diyakini mereka akan memimpin dengan baik, masyrakat tidak kurang sandang pangan dan papan, alias makmur.
Dari beberepa cerita yang berkembang, Dusun ini pernah dipimpin pendatang, atau bukan penduduk asli. Walaupun sudah memimpin dengan baik, adil namun ada saja kejadian yang menimbulkan ketidaknyamanan. Hal ini diyakini dari “danyang” desa, atau leluhur desa yang lebih sreg jika yang memimpin desa ini warga asli Medangan.

JALAN BARU DUSUN MEDANGAN
Pada masa pemerintahan sebelum Kepala Desa Mad Darum, dan Bau (Kepala Dusun) Nasrip, akses jalan masuk dusun Medangan berada di sebelah utara dan selatan, tidak mengarah ke barat (seperti saat ini). Pak Bau, yang baru menjabat 2 tahun, pada tahun 1974, berinisiatif membuka jalan baru, yang menuju arah ke barat, karena disana terdapat jalan akses arteri kabupaten.
Pak Bau Nasrip beserta warga, bekerja bakti membabat pohon dan ilalang, sehingga dapat dilalui warga. Dalam melaksanakan pembangunan ini, menurut penuturan Mad Darum, Kepala Desa pada masa itu, terjadi kematian berturut-turut hingga 40 hari.
Dengan berbagai masukan dan pertimbangan pada masa itu, Pak Bau melaksanakan tasyakuran dan pagelaran seni nanggap wayang, agar desa aman. Atas usul warga, disarankan agar mendatangkan wayang dengan dalang yang mumpuni.
Pada masa itu, diketahui ada dua dalang yang sangat disegani. Darmo Jein dari Desa Dadapkuning dan dalang Sani dari Desa Sirnoboyo. Darmo Jein terkenal dengan wayang golek, sedangkan dalang Sani menggunakan wayang kulit. Akhirnya Pak Bau Medangan, menghadirkan Dalang Sani.
Pagelaran wayang kulit dan campur sari dalam rangka sedekah Bumi Dusun Medangan tahun 2017
Pagelaran wayang pun digelar, masyarakat terhibur dan senang. Atas saran Dalang, desa Medangan dinamakan Desa Sumedang Kamulyan. Hingga sekarang, dalam  ritual do’a untuk desa, warga menyebut dengan Sumedang Kamulyan, walaupun secara administrasi pemerintahan masih bernama Medangan.

MAKAM KERAMAT
Di sebelah selatan Dusun Medangan, terdapat makam keramat. Jumlah kuburannya ada 9 makam. Menurut cerita yang ada, warga menyebutnya makam Mbah Dadi Gunung Bolong. Ada juga yang menyebutnya Mbah Runti. Makam itu diyakini makam laki-laki dan perempuan.
Di makam ini, terdapat pohon Kejaran. Pada zaman dahulu dibawah pohon itu sering digunakan sebagai tempat pemujaan dan kirim doa. Sampai sekarang sebagian masyarakat masih mengirimkan “takir” sebagai pernghormatan kepada leluhur desa.
Makam ini keramat, dahulu ada pohon asem besar. Kemudian dibabat oleh seseorang. Namun sebelum penebangan selesai, orang tersebut jatuh sakit. Di lain waktu, cerita yang sama berulang, pohon asem belum juga roboh ditebang, bahkan sang penebang pohon jatuh sakit hingga meninggal dunia.
Walaupun ajal adalah takdir Allah, Tuhan Yang Maha Esa, namun warga meyakini juga di bahwa makam ini keramat. Sehingga kita tetap harus waspada dan hati-hati melakukan apapun, karena disekitar kita ada makhluk yang tidak terlihat, jin dan sebangsanya, sama-sama makhluk Tuhan, yang tidak boleh diganggu.

PECUT
Menurut penuturan Pak Bau Nasrip, sejarah perjalanan Dusun Medangan dahulu sangat susah, namun sekarang warga masyarakat hidup berkecukupan. Dalam bahasa jawa, “sejarahe soroh tapi saiki uripe mulyo”. Saat ini, selain bertani, banyak warga yang berdagang maupun wirausaha, dalam mencukupi kebutuhan hidup dan menafkahi keluarga.

Menurut penuturan Pak Bau Nasrip, dahulu ada seorang pedagang sapi atau blantik, yang sangat sukses. Selain karena strategi berdagang yang baik, beliau juga dikisahkan memiliki pecut yang diyakini milik pedagang leluhur desa ini. 
Mungkin ini secuil sejarah yang bisa disampaikan, cerita ini berasal dari sesepuh dusun medangan H. Tasrib dan sumber buku babat alas benjeng, tentunya banyak kekurangan, untuk itu mudahan-mudahan kedepannya generasi bisa melengkapi atau bahkan meluruskan beberapa kesalahan penulisan. dan bisa jadi tulisan ini menjadi pondasi awal agar generasi tidak lupa akan sejarah dan perjuangan sesepuh desanya.

(Sumber : buku Babat alas Benjeng) Hadi Setiawan)