Wednesday, September 6, 2017

Memahami cerita sejarah Desa Metatu


Cover buku babat alas benjeng (Desain andik kohok)






























Menurut cerita yang dituturkan turun temurun dari orang tua, asal muasal nama Desa Metatu bermula dari telaga desa metatu. Telaga ini pernah menjadi tempat peristirahatan pasukan Giri. Kala itu pasukan kerajaan Giri mengadakan perjalanan ke Majapahit. Ketika sampai di desa ini, hari sudah menjelang petang. Pasukan menginap beristirahat, esok pagi perjalanan dilanjutkan kembali.

Setelah melakukan perjalanan yang menguras tenaga, pasukan melakukan persinggahan untuk mengembalikan stamina. Mereka beristirahat, sambil meregangkan kaki, dan  merebahkan tubuh untuk menghilangkan penat setelah berjalan seharian. Prajurit kerajaan yang umumnya berbadan kekar tersebut, juga membuka perbekalan makanan untuk mengembalikan tenaganya. Mereka telah menyiapkan logistik makanan dengan baik, agar kondisi tubuh tetap prima dan tenaganya kuat.

Selain makanan, tidak kalah penting adalah air minum. Makanan mungkin menjadi urusan kedua, yang penting air minum harus tersedia, menghilangkan dahaga. Dengan kesediaan air yang melimpah, kebutuhan mandi untuk membersihkan dan menyegarkan tubuh, juga diperlukan. Apalagi kerjaan Giri yang sudah menganut ajaran Islam, air menjadi sarana penyucian diri melalui wudlu, untuk melaksanakan kewajiban solat.

Telaga Desa Metatu menjadi tempat ideal, dengan segala kebutuhan yang diperlukan sebuah pasukan. Letaknya strategis di dekat jalan utama, jalur para pelancong atau pengembara melakukan perjalanan. Posisi telaga tidak jauh dari jalan utama, namun tersembunyi terlindung dari pohon-pohon besar. Sehingga apabila ada rombongan pasukan lain yang lewat, akan dengan mudah diketahui, tanpa kita keluar dari tempat istirahat.

Telaga terletak diluar pemukiman, menjadi tempat aman dari gangguan orang luar, untuk mengatur strategi perjalanan esok hari. Permukiman pertama desa ini kampung lama yang pertama kali dihuni penduduk, terletak di utara gapura sebelah barat, yang sekarang dihuni RT.01 RW.01 Desa Metatu.

Pagi hari menjelang, setelah semalam beristirahat dengn tenang, perjalanan dilanjutkan kembali. Pasukan mengemas semua perbekalan, menyiapkan prajurit, setelah lengkap  rombongan berangkat menuju Majapahit.

Setelah beberapa waktu perjalanan, Sang Patih, pemimpin pasukan menyadari bahwa mahkotanya tertinggal di tempat istirahat semalam, di sekitar telaga. Dia memerintahkan punakawan, pembantu Sang Patih, Ki Ageng Arem-Arem, untuk kembali ke telaga Desa Metatu. Sedangkan pasukan Giri tetap melanjutkan perjalanan.

Menurut legenda yang ada, Ki Ageng Arem-Arem, kembali ke telaga dan mencari mahkota. Dia mencari di setiap sudut di sekitar telaga. Di bawah pohon, di balik rumput dan semak-semak, atau di ranting pohon yang menjuntai ke tanah, barangkali diletakkan Sang Patih di sana.
Ki Ageng Arem-Arem, juga mencari di pohon-pohon besar, di sekitar telaga. Salah satu pohon besar, warga menyebutnya pohon “mbet”, sejenis pohon otok. Selain itu terdapat pohon besar lainnya yaitu randu alas. Pohon-pohon tersebut pada zaman kolobendu, yang masih banyak hutan belantara, tumbuh besar. Diameter batangnya melebihi 5 orang dewasa yang bergandengan tangan melingkar.

Setelah di sekeliling telaga tidak ditemukan mahkota yang dicari, dia berpikir mungkin jatuh kebawah dan berada di dasar telaga. Akhirnya dia memutuskan mencari ke dalam air. Dia menyusuri telaga dari tepi, berkeliling memutar tepian telaga. Meraba-raba dengan tangan dan kakinya, berharap menyentuh sesuatu, namun yang ditemukan hanya lumpur.

Akhirnya dia memutuskan untuk mencari lebih ke tengah, yang lebih dalam, dengan menyelam. Setelah beberapa saat menyelam, menurut legenda, Ki Ageng Arem-Arem tidak pernuh muncul dari dalam air. Beliau tenggelam, bersama mahkota sang Patih, yang diyakini masyarkat sekitar juga ikut tenggelam di dasar telaga Metatu.

Selain nama pohon, mbet dalam bahasa Jawa berarti ambles atau menancap. Konon, Ki Ageng Arem-Arem, tubuhnya ambles di tanah telaga yang berlumpur. Atas peristiwa itu, desa ini dikenal dengan sebutan Mbetatu. Setelah itu lambat laun berubah menjadi Metatu.

Menurut penuturan Bapak H. Mat Darum, ketika zaman Gestapu, pemerintah kecamatan mengubah namanya menjadi Desa Melati. Namun setelah era gestapu, dikembalikan menjadi Metatu hingga sampai sekarang.

MBAH DERMO
Pada masa dulu, zaman kolobendu, hutan belantara, dihuni binatang dan makhluk aneh, yang mungkin dari golongan jin. Dahulu terkenal “jalmo moro jalmo mati”. Artinya orang yang datang ke suatu tempat, tidak akan kembali lagi, hilang ditelan bumi, kemungkinan sudah mati. Namun matinya tanpa jasad, misterius. Makanya orang yang pergi ke luar desa, melewati hutan belantara, adalah orang yang mempunyai ilmu kanuragan dan kemampuan supranatural yang mumpuni.
Wak Dermo berasal dari perkampungan Purworejo, yang sekarang berada di sebelah utara Desa Metatu. Kampung ini lebih dahulu ada, kampung lama. Wak Dermo adalah tokoh babat alas desa Metatu, membuka area untuk permukiman. Beliau membabat pohon, membersihkan rumput dan semak, untuk digunakan tempat tinggal baru.
Wak Dermo bersama keluarga mendirikan rumah dan membangun rumah tangga. Sementara warga yang di Purworejo, tetap tinggal di sana melanjutkan hidup sehari-hari seperti biasa. Wak Dermo boyongan ke tempat ini, dimungkinkan di sini sumber makanan lebih banyak, atau di tempat asal sudah mulai berkurang sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Mengingat zaman dahulu, manusia sifat hidupnya nomaden, selalu berpindah-pindah, mendekati tempat yang lebih banyak sumber makanan.

KEBAKARAN HUTAN DI MUSIM KEMARAU
Kemarau panjang telah tiba, air mengering, pohon dan ranting menggugurkan daun-daun. Hutan yang dulu hijau dan segar, sekarang kering kerontang, sejauh mata memandang berwarna coklat muda, daun kering berserakan di mana-mana.
Burung dan binatang darat pergi menjauh, mencari makanan dan sumber air bersih. Namun warga yang sudah mempunyai rumah, dan penghidupan di desa, tentu saja tidak bisa pindah seperti kawanan burung dan hewan lainnya. Mereka menetap, menunggu musim hujan tiba, walau paceklik melanda.
Musim kemarau, pohon dan ranting, daun, rumput, semuanya kering kerontang. Kebakaran hebat di seluruh desa, api membesar menyambar apa saja yang ada didekatnya. Asapnya tebal menyesakkan dada, membuat miris penduduk desa. Namun dengan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, yang waktu itu warga meyakini danyang atau leluhur dan penguasa desa masih melindungi desa ini. Walaupun semua desa terbakar, namun ada satu gang yang tidak terbakar.
Warga banyak berlindung di kampung ini, karena rumah dan tempat tinggal mereka ludes terbakar. Harta benda hilang, hewan ternak lari tunggang langgang, dan kini mereka memulai hidup baru, dengan semangat baru yang lebih tegar dalam mengarungi hidup.


KEPALA DESA
Desa Metatu terletak di bagian utara wilayah Kecamatan Benjeng. Terdiri dari 3 wilayah, yaitu Dusun Metatu sebagai pusat pemerintahan desa, Dusun Medangan sebelah selatan dan Dusun Purworejo sebelah utara.
Kepala Desa yang telah memimpin yang diketahui yaitu
1.        Kiyai Las
2.        Kiyani
3.        Ri’ah
4.        Kromo Setro Teko
5.        Wongso Karso Randim
6.        Rahmat / H. Sulaiman
7.        Mad Darum / H. Mad Darum Afandi (1960 – 1990)
8.        Agus Salim (1991 – 2007)
9.        Nurhudi DA (2007 – 2013)
10.  Nurul Askin (2013- sampai sekarang)


Menurut penuturan H. Mad Darum, awalnya Medangan adalah desa dengan pemerintahan sendiri. Saat itu lurahnya yang bernama Gunawan,. Beliau  ke Surabaya. Dengan kekosongan kepemimpinan, maka Medangan dijadikan satu dengan pemerintahan Desa Metatu, hingga sekarang.

(sumber : buku babat alas benjeng)
di poskan : hadi setiawan

No comments:

Post a Comment