|
Cover buku babat alas benjeng (Desain andik kohok) |
Menurut cerita yang
dituturkan turun temurun dari orang tua, asal muasal nama Desa Metatu bermula
dari telaga desa metatu. Telaga ini pernah menjadi tempat peristirahatan
pasukan Giri. Kala itu pasukan kerajaan Giri mengadakan perjalanan ke Majapahit.
Ketika sampai di desa ini, hari sudah menjelang petang. Pasukan menginap beristirahat,
esok pagi perjalanan dilanjutkan kembali.
Setelah melakukan perjalanan
yang menguras tenaga, pasukan melakukan persinggahan untuk mengembalikan
stamina. Mereka beristirahat, sambil meregangkan kaki, dan merebahkan tubuh untuk menghilangkan penat setelah
berjalan seharian. Prajurit kerajaan yang umumnya berbadan kekar tersebut, juga
membuka perbekalan makanan untuk mengembalikan tenaganya. Mereka telah menyiapkan
logistik makanan dengan baik, agar kondisi tubuh tetap prima dan tenaganya
kuat.
Selain makanan,
tidak kalah penting adalah air minum. Makanan mungkin menjadi urusan kedua,
yang penting air minum harus tersedia, menghilangkan dahaga. Dengan kesediaan
air yang melimpah, kebutuhan mandi untuk membersihkan dan menyegarkan tubuh, juga
diperlukan. Apalagi kerjaan Giri yang sudah menganut ajaran Islam, air menjadi
sarana penyucian diri melalui wudlu, untuk melaksanakan kewajiban solat.
Telaga Desa Metatu
menjadi tempat ideal, dengan segala kebutuhan yang diperlukan sebuah pasukan. Letaknya
strategis di dekat jalan utama, jalur para pelancong atau pengembara melakukan
perjalanan. Posisi telaga tidak jauh dari jalan utama, namun tersembunyi
terlindung dari pohon-pohon besar. Sehingga apabila ada rombongan pasukan lain
yang lewat, akan dengan mudah diketahui, tanpa kita keluar dari tempat
istirahat.
Telaga terletak diluar
pemukiman, menjadi tempat aman dari gangguan orang luar, untuk mengatur
strategi perjalanan esok hari. Permukiman pertama desa ini kampung lama yang
pertama kali dihuni penduduk, terletak di utara gapura sebelah barat, yang
sekarang dihuni RT.01 RW.01 Desa Metatu.
Pagi hari
menjelang, setelah semalam beristirahat dengn tenang, perjalanan dilanjutkan
kembali. Pasukan mengemas semua perbekalan, menyiapkan prajurit, setelah lengkap
rombongan berangkat menuju Majapahit.
Setelah beberapa
waktu perjalanan, Sang Patih, pemimpin pasukan menyadari bahwa mahkotanya
tertinggal di tempat istirahat semalam, di sekitar telaga. Dia memerintahkan
punakawan, pembantu Sang Patih, Ki Ageng Arem-Arem, untuk kembali ke telaga
Desa Metatu. Sedangkan pasukan Giri tetap melanjutkan perjalanan.
Menurut legenda
yang ada, Ki Ageng Arem-Arem, kembali ke telaga dan mencari mahkota. Dia
mencari di setiap sudut di sekitar telaga. Di bawah pohon, di balik rumput dan
semak-semak, atau di ranting pohon yang menjuntai ke tanah, barangkali diletakkan
Sang Patih di sana.
Ki Ageng Arem-Arem,
juga mencari di pohon-pohon besar, di sekitar telaga. Salah satu pohon besar, warga
menyebutnya pohon “mbet”, sejenis pohon otok.
Selain itu terdapat pohon besar lainnya yaitu randu alas. Pohon-pohon tersebut pada zaman kolobendu, yang masih banyak hutan belantara, tumbuh besar. Diameter
batangnya melebihi 5 orang dewasa yang bergandengan tangan melingkar.
Setelah di
sekeliling telaga tidak ditemukan mahkota yang dicari, dia berpikir mungkin
jatuh kebawah dan berada di dasar telaga. Akhirnya dia memutuskan mencari ke
dalam air. Dia menyusuri telaga dari tepi, berkeliling memutar tepian telaga.
Meraba-raba dengan tangan dan kakinya, berharap menyentuh sesuatu, namun yang
ditemukan hanya lumpur.
Akhirnya dia
memutuskan untuk mencari lebih ke tengah, yang lebih dalam, dengan menyelam.
Setelah beberapa saat menyelam, menurut legenda, Ki Ageng Arem-Arem tidak
pernuh muncul dari dalam air. Beliau tenggelam, bersama mahkota sang Patih,
yang diyakini masyarkat sekitar juga ikut tenggelam di dasar telaga Metatu.
Selain nama pohon, mbet dalam bahasa Jawa berarti ambles
atau menancap. Konon, Ki Ageng Arem-Arem, tubuhnya ambles di tanah telaga yang
berlumpur. Atas peristiwa itu, desa ini dikenal dengan sebutan Mbetatu. Setelah
itu lambat laun berubah menjadi Metatu.
Menurut penuturan
Bapak H. Mat Darum, ketika zaman Gestapu, pemerintah kecamatan mengubah namanya
menjadi Desa Melati. Namun setelah era gestapu, dikembalikan menjadi Metatu
hingga sampai sekarang.
MBAH DERMO
Pada masa dulu,
zaman kolobendu, hutan belantara,
dihuni binatang dan makhluk aneh, yang mungkin dari golongan jin. Dahulu
terkenal “jalmo moro jalmo mati”. Artinya orang yang datang ke suatu tempat,
tidak akan kembali lagi, hilang ditelan bumi, kemungkinan sudah mati. Namun
matinya tanpa jasad, misterius. Makanya orang yang pergi ke luar desa, melewati
hutan belantara, adalah orang yang mempunyai ilmu kanuragan dan kemampuan
supranatural yang mumpuni.
Wak Dermo berasal
dari perkampungan Purworejo, yang sekarang berada di sebelah utara Desa Metatu.
Kampung ini lebih dahulu ada, kampung lama. Wak Dermo adalah tokoh babat alas desa Metatu, membuka area
untuk permukiman. Beliau membabat pohon, membersihkan rumput dan semak, untuk
digunakan tempat tinggal baru.
Wak Dermo bersama
keluarga mendirikan rumah dan membangun rumah tangga. Sementara warga yang di
Purworejo, tetap tinggal di sana melanjutkan hidup sehari-hari seperti biasa.
Wak Dermo boyongan ke tempat ini, dimungkinkan di sini sumber makanan lebih
banyak, atau di tempat asal sudah mulai berkurang sehingga tidak mencukupi
untuk kebutuhan keluarga. Mengingat zaman dahulu, manusia sifat hidupnya
nomaden, selalu berpindah-pindah, mendekati tempat yang lebih banyak sumber
makanan.
KEBAKARAN HUTAN DI MUSIM KEMARAU
Kemarau panjang
telah tiba, air mengering, pohon dan ranting menggugurkan daun-daun. Hutan yang
dulu hijau dan segar, sekarang kering kerontang, sejauh mata memandang berwarna
coklat muda, daun kering berserakan di mana-mana.
Burung dan binatang
darat pergi menjauh, mencari makanan dan sumber air bersih. Namun warga yang
sudah mempunyai rumah, dan penghidupan di desa, tentu saja tidak bisa pindah
seperti kawanan burung dan hewan lainnya. Mereka menetap, menunggu musim hujan
tiba, walau paceklik melanda.
Musim kemarau,
pohon dan ranting, daun, rumput, semuanya kering kerontang. Kebakaran hebat di
seluruh desa, api membesar menyambar apa saja yang ada didekatnya. Asapnya
tebal menyesakkan dada, membuat miris penduduk desa. Namun dengan kuasa Tuhan
Yang Maha Esa, yang waktu itu warga meyakini danyang atau leluhur dan penguasa desa masih melindungi desa ini.
Walaupun semua desa terbakar, namun ada satu gang yang tidak terbakar.
Warga banyak
berlindung di kampung ini, karena rumah dan tempat tinggal mereka ludes
terbakar. Harta benda hilang, hewan ternak lari tunggang langgang, dan kini
mereka memulai hidup baru, dengan semangat baru yang lebih tegar dalam
mengarungi hidup.
KEPALA DESA
Desa Metatu
terletak di bagian utara wilayah Kecamatan Benjeng. Terdiri dari 3 wilayah,
yaitu Dusun Metatu sebagai pusat pemerintahan desa, Dusun Medangan sebelah
selatan dan Dusun Purworejo sebelah utara.
Kepala Desa yang telah memimpin yang
diketahui yaitu
1.
Kiyai Las
2.
Kiyani
3.
Ri’ah
4.
Kromo Setro Teko
5.
Wongso Karso Randim
6.
Rahmat / H. Sulaiman
7.
Mad Darum / H. Mad Darum
Afandi (1960 – 1990)
8.
Agus Salim (1991 – 2007)
9.
Nurhudi DA (2007 – 2013)
10. Nurul Askin (2013- sampai sekarang)
Menurut penuturan
H. Mad Darum, awalnya Medangan adalah desa dengan pemerintahan sendiri. Saat
itu lurahnya yang bernama Gunawan,. Beliau ke Surabaya. Dengan kekosongan kepemimpinan, maka Medangan dijadikan
satu dengan pemerintahan Desa Metatu, hingga sekarang.
(sumber : buku babat alas benjeng)
di poskan : hadi setiawan